Kabar penyerangan dan pengrusakan sejumlah gereja di Aceh Singkil oleh sekelompok massa intoleran pada pekan lalu menyentak rasa kebhinekaan kita. Dalam peristiwa itu dilaporkan satu orang tewas, empat luka-luka, dan satu gereja hangus terbakar. Tragedi seperti ini bukanlah yang pertama dalam sejarah Indonesia dalam satu dekade terakhir. Menurut data yang dikutip CNN Indonesia, total ada 1000 kasus pembakaran gereja di Indonesia pasca Reformasi. Angka yang sangat mengkhawatirkan.
Tentu ada banyak faktor yang menyuburkan aksi penolakan terhadap pendirian atau keberadaan gereja. Mulai dari regulasi yang diskriminatif, pemerintah yang tidak punya perhatian pada isu keberagaman, aparat kepolisian yang tidak terampil dan tidak tegas, sebagian masyarakat Muslim yang alergi kepada umat Kristen, dan seterusnya.
Dari berbagai faktor yang ada, saya menduga faktor utamanya adalah alergi sebagian masyarakat Muslim kepada umat Kristen. Dan itu akarnya adalah kebencian terhadap umat Kristen.
Kebencian itu tidak lahir begitu saja. Ia diciptakan oleh dakwah, dengan berbagai bentuknya, termasuk khutbah Jumat, yang menggambarkan Kristen sebagai kekuatan jahat-global yang tidak akan berhenti melumat umat Islam dan menghadang kebangkitan Islam. Tak lupa ayat yang bernada konflik antara Islam dan Kristen, begitu juga Yahudi (al-Baqarah: 120), kerap dikutip untuk semakin meyakinkan umat Islam. Dan sepintas, dakwah kebencian ini marak dalam beberapa tahun terakhir.
Jika kita menyisir sejarah Islam awal, sesungguhnya hubungan Islam dan Kristen tidaklah seburuk seperti yang digambarkan dakwah kebencian yang marak belakangan ini. Dalam buku-buku sirah disebutkan hubungan Nabi Muhammad dan umat Islam dengan komunitas Kristen sangat harmonis dan saling melindungi. Bahkan yang sejak awal mengakui potensi kenabian Muhammad belia adalah seorang pendeta Kristen.
Berikut potret bagaimana hubungan Nabi Muhammad dan umat Islam awal dengan komunitas Kristen yang ditulis secara apik oleh Martin Lings dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Serambi, 2013). Dan sungguh, sunah nabi yang berhubungan baik dengan komunitas Kristen layak diikuti oleh umat Islam yang mengaku saleh.
Selain menggembala domba dan kambing di perbukitan Mekkah untuk menafkahi dirinya, Muhammad belia kerap diajak pamannya, Abu Thalib, bepergian bersama rombongan saudagar. Pada usia 9, riwayat lain menyebut 12 tahun, Muhammad diajak pamannya pergi ke Suriah untuk berniaga.
Di Bostra, tempat yang biasa disinggahi rombongan saudagar Mekkah untuk istirahat, berdiri sebuah biara yang sejak lama dihuni pendeta-pendeta Kristen. Di dalam biara itu ada sejumlah manuskrip kekristenan yang tetap terjaga. Salah satu manuskrip itu menyebut ramalan tentang datangnya seorang nabi pada masyarakat Arab.
Ramalan itu rupanya menarik perhatian Bahira, pendeta utama di biara itu yang menguasai kandungan manuskrip itu. Bahira meyakini nabi yang dimaksud manuskrip itu datang pada masa hidupnya. Karena itu, setiap rombongan dagang dari Mekkah mendatangi tempat persinggahan itu, Bahira selalu memperhatikannya. Bila pada rombongan sebelumnya Bahira tidak melihat tanda-tanda kenabian, namun pada rombongan Muhammad dan pamannya itu Bahira melihatnya dengan jelas.
Bahira mengundang rombongan itu masuk ke dalam biara seraya menjanjikan mereka makanan. Di depan pintu, Bahira memperhatikan satu persatu anggota rombongan yang masuk biara. Namun, Bahira tidak melihat tanda-tanda kenabian pada orang yang melewatinya tadi. Bahira bertanya kepada rombongan tersebut untuk memastikan tidak ada anggota yang tertinggal. Rupanya, karena kelalaian anggota rombongan dewasa, Muhammad tidak diajak masuk biara.
Bahira sendiri yang menjemput Muhammad lalu memeluknya. Bahira mengajak Muhammad bergabung dengan anggota rombongan lainnya. Tak sedetik pun mata Bahira lepas dari Muhammad. Ciri fisik yang digambarkan dalam manuskrip itu cocok dengan wajah dan tubuh Muhammad.
Usai makan bersama, Bahira menghampiri Muhammad dan menanyakan tentang kehidupan Muhammad sehari-hari. Bahira juga meminta Muhammad melepaskan jubahnya agar Bahira bisa melihat punggungnya. Di antara dua punggung Muhammad, Bahira melihat tanda-tanda kenabian seperti yang digambarkan manuskrip itu. Setelah itu Bahira menghampiri Abu Thalib dan menanyakan apa hubungannya dengan Muhammad. Abu Thalib menyebut bahwa Muhammad adalah anak saudaranya.
“Bawalah anak saudaramu ini kembali ke negerinya dan lindungilah dia dari kaum Yahudi. Demi Tuhan, kalau mereka melihatnya dan tahu seperti aku mengenalnya, mereka akan berbuat jahat terhadapnya! Anak saudaramu ini kelak akan menjadi orang besar,” kata Pendeta Bahira kepada Abu Thalib.
Saat muda, Muhammad menjadi ketua rombongan dagang milik perempuan Mekkah yang kelak dihormati umat Islam se-dunia, yaitu Khadijah binti Khuwaylid. Ditemani budak kepercayaan Khadijah, Maysarah, Muhammad muda ditugaskan menjual barang dagangan Khadijah ke utara.
Di Bostra, Muhammad bertemu kembali pendeta Kristen. Namun, yang menemuinya kali ini bukanlah Bahira, melainkan Nestor. Bahira dikisahkan sudah meninggal saat itu. “Dia tak lain adalah seorang nabi,” kata Nestor kepada Maysarah.
Pengalaman itu diceritakan Maysarah kepada majikannya. Cerita Maysarah dan kecakapan Muhammad muda dalam berdagang yang menghasilkan keuntungan luar biasa membuat Khadijah semakin kagum pada Muhammad muda.
Khadijah menceritakan apa yang diceritakan Maysarah kepada sepupunya, Waraqah, seorang Kristen yang memilih kehidupan asketis. “Jika ini benar, maka Muhammad adalah nabi dari kaum kita. Telah lama aku tahu bahwa seorang nabi akan diutus dan saatnya kini telah tiba,” kata Waraqah kepada Khadijah.
Sepulang dari Gua Hira, Muhammad kembali ke rumah dengan tubuh gemetar dan dicekam ketakutan yang mendalam. Sesampainya di rumah, ia meminta sang istri untuk menyelimutinya.
Khadijah cemas melihat kondisi suaminya seperti itu, tapi ia tidak berani bertanya. Setelah tenang, Muhammad menceritakan kepada istrinya bahwa ia telah didatangi Jibril dan menyampaikan wahyu Tuhan kepada Muhammad. Esoknya, Khadijah menceritakan peristiwa itu kembali kepada Waraqah yang saat itu sudah semakin sepuh dan buta.
“Quddus! Quddus!” kata Waraqah. “Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, yang mendatangi Muhammad adalah Namus yang terbesar, yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh, Muhammad adalah nabi bagi kaumnya. Yakinkanlah dia”. Namus, bahasa Yunani, adalah hukum Tuhan atau ruh. Namun, yang dimaksud dalam konteks ini adalah malaikat pembawa wahyu.
Ketika thawaf, Muhammad melihat Waraqah sedang duduk-duduk di antara orang-orang dekat Ka’bah. Selesai thawaf, Muhammad menghampirinya dan menceritakan pengalamannya bertemu Jibril. Waraqah kemudian memperingatkan Muhammad.
“Engkau akan didustakan orang, akan diperlakukan buruk, mereka akan mengusirmu, bahkan berperang melawanmu! Seandainya aku masih hidup saat itu, Allah tahu, aku pasti membela kebenaran agama-Nya”. Waraqah lalu memeluk Muhammad dan mencium ubun-ubunnya.
Setelah Nabi Muhammad mulai menyiarkan ajarannya banyak penolakan dari masyarakat Mekkah. Penderitaan umat Islam awal di Mekkah semakin menjadi-jadi. Tak hanya kehilangan hak untuk bebas menjalankan apa yang mereka yakini, umat Islam awal juga diintimidasi, diancam, bahkan disiksa untuk meninggalkan ajaran Nabi Muhammad yang mereka yakini.
Umat Islam awal ketika itu adalah kelompok minoritas yang tertindas.
Tak tega melihat penderitaan para sahabatnya itu, nabi memerintahkan sebagian mereka untuk pergi dan mencari perlindungan di kerajaan Abyssinia.
“Di sana kalian akan mendapatkan seorang raja yang adil dan bijaksana. Suatu negeri yang kalian bebas dan leluasa dalam beragama. Sampai suatu saat Allah memberikan jalan yang dapat menghindarkan penderitaan yang kalian tanggung sekarang,” kata nabi kepada sebagian sahabat. Migrasi ini adalah hijrah pertama dalam sejarah Islam.
Dan benar apa yang dikatakan nabi: para pengungsi itu diterima baik di Abyssinia. Mereka diberi kebebasan penuh untuk beribadah sesuai yang mereka yakini. Namun, pemimpin Quraisy penindas di Mekkah tidak tinggal diam setelah mengetahui kabar bahwa sebagian dari pengikut nabi Muhammad telah mengungsi ke Abyssinia.
Mereka kemudian membentuk delegasi untuk bertemu Raja Negus, raja Abyssinia kala itu, sambil meminta agar memulangkan para pengikut nabi. Mereka melakukan berbagai cara untuk mendapat izin Raja Negus dengan cara menyuap Raja Negus dan para jenderal Abyssinia. Semua usaha delegasi itu sia-sia karena Raja Negus tidak mengabulkan permintaan mereka dan menolak gratifikasi yang diberikan.
“Demi Tuhan, mereka tidak boleh dikhianati. Mereka telah meminta suaka perlindunganku dan menjadikan negeriku sebagai tempat tinggal, serta telah memilihku dari yang lain,” kata Raja Negus di hadapan sejumlah jenderal yang menerima suap dan delegasi itu.
Orang-orang Abyssinia adalah penganut Kristen. Mereka telah dibaptis, menyembah Tuhan yang satu, melaksanakan dengan khusyuk sakramen di Eucharist.
Sosok Muhammad semakin berpengaruh di Madinah. Bagi komunitas Madinah (ummah), terutama pengikutnya, Muhammad adalah seorang nabi dan utusan Tuhan. Sementara bagi non-pengikutnya, Muhammad adalah pemimpin yang tidak partisan, tegas, dan harus diikuti.
Kuatnya pengaruh Nabi Muhammad di Madinah bergema hingga ke wilayah-wilayah sekitar. Madinah bahkan menjadi poros kekuatan baru di jazirah Arab. Karena itu, utusan kerajaan tetangga kerap menemui Nabi Muhammad untuk membuka hubungan diplomatik dan membuat perjanjian.
Salah satu utusan yang pernah menemui nabi adalah kaum Kristen Najran, mereka berasal dari wilayah bagian Bizantium. Pada masa lalu, mereka menerima banyak subsidi dari Konstantinopel. Delegasi itu berjumlah enam orang dan diterima nabi di Masjid Nabawi. Tujuan mereka menemui nabi adalah untuk membuat perjanjian dengan nabi. Ketika waktu sembahyang mereka tiba, nabi mengizinkan mereka melaksanakannya di dalam masjid dengan menghadap ke timur.
Selama di Madinah, mereka tinggal bersama nabi di Masjid Nabawi. Selama itu, nabi terlibat dalam perdebatan yang seru dengan utusan Kristen Najran itu mengenai beberapa isu, khususnya tentang doktrin kekristenan. Saking tajamnya perbedaan pandangan antara nabi dan utusan itu sampai-sampai turun wahyu yang memerintahkan nabi bermubahalah (seperti sumpah pocong dalam masyarakat Nusantara). Wahyu itu bisa dibaca pada surat Alu Imran, ayat 59 sampai 61.
Delegasi Kristen Najran menyatakan tidak siap membawa perselisihan antara mereka dengan nabi itu berdampak jauh sampai menjadi kutukan. Lalu, nabi dan mereka membuat satu perjanjian: Madinah sebagai kekuatan baru di jazirah Arab akan memberi perlindungan bagi para pengikut Kristen Najran, gereja-gerejanya, dan kekayaan mereka. Sementara mereka akan membayar pajak sebagai upah perlindungan itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.